1.Topeng Ireng/Dayakan
Topeng ireng adalah salah satu kesenian tradisional yang berkembang di daerah Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah. Topeng Ireng yang juga dikenal sebagai kesenian Dayakan ini adalah bentuk tarian rakyat kreasi baru yang merupakan hasil metamorfosis dari kesenian Kubro Siswo.
Nama Topeng Ireng sendiri berasal dari kata Toto Lempeng Irama Kenceng. Toto artinya menata, lempeng berarti lurus, irama berarti nada,
dan kenceng berarti keras. Oleh karena itu, dalam
pertunjukan Topeng Ireng para penarinya berbaris lurus dan diiringi musik
berirama keras dan penuh semangat. Tarian ini sebagai wujud pertunjukan seni tradisional yang
memadukan syiar agama Islam dan ilmu beladiri atau pencaksilat. Tak heran,
Topeng Ireng selalu diiringi dengan musik yang rancak dan lagu dengan syair
Islami.
Selain sebagai syiar agama Islam, pertunjukan
Topeng Ireng juga menggambarkan tentang kehidupan masyarakat pedesaan yang
tinggal di lereng Merapi Merbabu. Dari gerakannya yang tegas menggambarkan kekuatan
fisik yang dimiliki oleh masyarakat desa saat bertarung maupun bersahabat
dengan alam guna mempertahankan hidupnya.
Sebelum dikenal dengan nama Topeng Ireng,
seni pertunjukan ini dikenal dengan nama kesenian Dayakan. Hal ini bukan tanpa alasan, nama Dayakan ini didasarkan pada kostum yang
digunakan oleh para penari. Busana bagian
bawah yang digunakan oleh para penari menyerupai pakaian adat suku Dayak. Sekitar tahun 1995,
kata Dayakan dinilai mengandung unsur SARA,
kemudian kesenian ini diubah menjadi kesenian Topeng Ireng. Namun, sejak tahun 2005 nama Dayakan dipopulerkan lagi sehingga menjadikan
kesenian ini dikenal dengan dua nama, Topeng Ireng dan Dayakan.
2.Kesenian Janen
Karya sastra merupakan hasil karya manusia
yang diciptakan untuk mengekspresikan dan mengungkapkan pikiran, gagasan,
perasaan tentang kehidupan dalam bahasa yang bersifat imajinatif, yang di
dalamnya juga mengandung suatu ajaran moral baik norma, etika, ataupun budi
pekerti yang tersirat maupun tersurat melalui pitutur baik berupa amanat
ataupun pesan moral. Karya sastra, juga memiliki unsur estetis yang menjadi
daya tarik tersendiri bagi penikmatnya. Seperti syair lagu Kesenian Jan-janen
ini yang dimungkinkan memiliki nilai etika dan unsur estetika.
Syair janen di setiap daerah tentu
berbeda-beda, untuk di desa Kwadungan Jurang sendiri memiliki syair janen
sebagai berikut:
“syiir tanpo waton”
أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا * أَسْتَغْفِرُ
اللهْ مِنَ الْخَطَايَا
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا * وَوَفِّقْنِي عَمَلاً
صَالِحَا
ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ * يَا رَفِيْعَ
الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ * ( يَا أُهَيْلَ
الْجُودِ وَالْكَرَمِ
Ngawiti ingsun nglaras syi’iran …. (aku memulai
menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran …. (dengan memuji kepada
Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan …. (yang memberi
rohmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X …. (siang dan malamnya
tanpa terhitung)
Duh bolo konco priyo wanito …. (wahai para teman pria
dan wanita)
Ojo mung ngaji syareat bloko …. (jangan hanya belajar
syari’at saja)
Gur pinter ndongeng nulis lan moco … (hanya pandai
bicara, menulis dan membaca)
Tembe mburine bakal sengsoro 2X …. (esok hari bakal
sengsara)
Akeh kang apal Qur’an Haditse …. (banyak yang hapal
Qur’an dan Haditsnya)
Seneng ngafirke marang liyane …. (senang mengkafirkan
kepada orang lain)
Kafire dewe dak digatekke …. (kafirnya sendiri tak
dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale 2X …. (jika masih kotor hati
dan akalnya)
Gampang kabujuk nafsu angkoro …. (gampang terbujuk
nafsu angkara)
Ing pepaese gebyare ndunyo …. (dalam hiasan
gemerlapnya dunia)
Iri lan meri sugihe tonggo … (iri dan dengki kekayaan
tetangga)
Mulo atine peteng lan nisto 2X … (maka hatinya gelap
dan nista)
Ayo sedulur jo nglaleake …. (ayo saudara jangan
melupakan)
Wajibe ngaji sak pranatane … (wajibnya mengkaji
lengkap dengan aturannya)
Nggo ngandelake iman tauhide … (untuk mempertebal iman
tauhidnya)
Baguse sangu mulyo matine 2X …. (bagusnya bekal mulia
matinya)
Kang aran sholeh bagus atine …. (Yang disebut sholeh
adalah bagus hatinya)
Kerono mapan seri ngelmune … (karena mapan lengkap
ilmunya)
Laku thoriqot lan ma’rifate …. (menjalankan tarekat
dan ma’rifatnya)
Ugo haqiqot manjing rasane 2 X … (juga hakikat meresap
rasanya)
Al Qur’an qodim wahyu minulyo … (Al Qur’an qodim wahyu
mulia)
Tanpo tinulis biso diwoco … (tanpa ditulis bisa
dibaca)
Iku wejangan guru waskito … (itulah petuah guru
mumpuni)
Den tancepake ing jero dodo 2X … (ditancapkan di dalam
dada)
Kumantil ati lan pikiran … (menempel di hati dan
pikiran)
Mrasuk ing badan kabeh jeroan …. (merasuk dalam badan
dan seluruh hati)
Mu’jizat Rosul dadi pedoman …. (mukjizat
Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman)
Minongko dalan manjinge iman 2 X … (sebagai sarana
jalan masuknya iman)
Kelawan Alloh Kang Moho Suci … (Kepada Alloh Yang Maha
Suci)
Kudu rangkulan rino lan wengi ….. (harus mendekatkan
diri siang dan malam)
Ditirakati diriyadohi … (diusahakan dengan
sungguh-sungguh secara ihlas)
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X … (dzikir dan suluk
jangan sampai lupa)
Uripe ayem rumongso aman … (hidupnya tentram merasa
aman)
Dununge roso tondo yen iman … (mantabnya rasa tandanya
beriman)
Sabar narimo najan pas-pasan … (sabar menerima meski
hidupnya pas-pasan)
Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X … (semua itu adalah
takdir dari Tuhan)
Kelawan konco dulur lan tonggo … (terhadap teman,
saudara dan tetangga)
Kang podho rukun ojo dursilo … (yang rukunlah jangan
bertengkar)
Iku sunahe Rosul kang mulyo … (itu sunnahnya Rosul
yang mulia)
Nabi Muhammad panutan kito 2x …. (Nabi Muhammad
tauladan kita)
Ayo nglakoni sakabehane … (ayo jalani semuanya)
Alloh kang bakal ngangkat drajate … (Allah yang akan
mengangkat derajatnya)
Senajan asor toto dhohire … (Walaupun rendah tampilan
dhohirnya)
Ananging mulyo maqom drajate 2X … (namun mulia maqam
derajatnya di sisi Allah)
Lamun palastro ing pungkasane … (ketika ajal telah
datang di akhir hayatnya)
Ora kesasar roh lan sukmane … (tidak tersesat roh dan
sukmanya)
Den gadang Alloh swargo manggone … (dirindukan Allah
surga tempatnya)
Utuh mayite ugo ulese 2X … (utuh jasadnya juga kain
kafannya)
ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ * يَا رَفِيْعَ
الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
3.Wulan Sunu
Latar belakang timbulnya seni Wulang
Sunu ialah karena pada waktu itu masih jarang ada orang yang pandai membaca dan
menulis, lebih-lebih pada masyarakat pedesaan sehingga penyebaran isi (ajaran)
buku ‘Wulang Sunu” karya Paku Buwana IV ini mengalami kesulitan. Untuk
memudahkan memahami isi buku tersebut, maka penyebarannya dilakukan lewat media
kesenian yang kemudian dikenal dengan seni Wulang Sunu.
Para pemain umumnya ialah orang-orang
pedesaan yang semuanya terdiri dari kaum laki-laki. Para penari (dalam arti
merangkap sebagai vokalis), kebanyakan para pemuda berusia sekitar 20 hingga 25
tahun. Pemain musik (penabuh) dan bawa berusia lebih tua, yaitu berkisar antara
30-50 tahun. Jumlah pemain lazimnya terdiri dari :
1.
Penari merangkap vokalis : 18 orang
2.
Penari Dewi Sri dan Dayang : 2 orang
3.
Pemain musik / penabuh : 5 orang
4.
Bawa : 1 orang (bisa lebih)
5.
Tari
Bentuk tari yang dibawakan adalah berupa
gerak-gerak sederhana yang sering diulang-ulang menyesuaikan dengan irama lagu
yang mengiringinya. Posisi kakinya sering terbuka tetapi sering pula tertutup,
sedangkan posisi lengannya adalah sedang dan rendah. Tarian disajikan dengan
posisi duduk, membungkuk (setengah berdiri), dan berdiri. Desain yang digunakan
dalam menari sering membentuk garis lurus, berputar, dan 2 lingkaran kecil.
Sambil menari, penyanyi menyanyikan lagu yang setiap lagu didahului oleh Bawa.
Musik vokalnya, berupa nyanyian
(tembang) yang syair-syairnya berisi ajaran mengenai kehidupan manusia sejak
berada dalam kandungan hingga meninggal dengan segala rangkaian upacara yang
berlaku pada dirinya. Laras yang dipakai adalah Slendro dan Pelog dengan iringan
oleh tetabuhan alat-alat perkusi dalam irama dan ritme yang monoton.
Sesuai dengan bentuknya, seni Wulang
Sunu ini tidak menggunakan dialog, namun memakai nyanyian (tembang) yang
syair-syairnya memakai bahasa daerah Jawa.
Seni Wulang Sunu ini sama sekali tidak
membawakan cerita apapun, melainkan hanya membawakan gerak-gerak tari sederhana
yang diiringi nyannyian dengan syair-syair berisi ajaran yang diambil dari buku
“Wulang Sunu” karya Paku Buwana IV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar